PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA
A. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja
yang terjadi karena berbagai sebab. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan memberikan pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara buruh/pekerja dengan pengusaha. (Husni, 2003)
Sedangkan menurut
Halim (1990: 136) bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah suatu langkah
pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.
Menurut Pasal 1 ayat 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-15A/MEN/1994,
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ialah pengakhiran hubungan kerja antara
pengusaha dan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.(Khakim,2003)
Dalam kondisi normal, pemutusan
hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat membahagiakan.
Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran sesuai dengan tuntutan
perusahaan, dan pengabdian kepada organisasi maka tiba saatnya seseorang untuk memperoleh
penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan usahanya tersebut. PHK sebagai
manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak normal nampaknya masih
merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia industri negara maju yang
masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha menempatkan
investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan yang besar,
walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara
lain.
Keadaan ini tentu saja berdampak PHK pada
karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh
perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi
yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi,
maka terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus
dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi
pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat dihindarkan.
Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang
dilakukan oleh para manajer terus digulirkan, maka PHK masih merupakan fenomena
yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan
kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan
karyawan).
B. Arti dan Sebab – Sebab PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini
dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis
kontrak.
Penyebab hubungan kerja dapat
berakhir
Menurut pasal 61 Undang – Undang No.
13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :
1.
pekerja
meninggal dunia
2.
jangka
waktu kontak kerja telah berakhir
3.
adanya
putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
4.
adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jadi, pihak yang mengakhiri
perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, wajib membayar ganti
rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
C. Jenis – Jenis Pemutusan Hubungan Kerja
Dalam literatur Hukum
Perburuhan/Ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis PHK yaitu:
a.
Pemutusan hubungan
kerja oleh pengusaha
Pengusaha dapat
memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh
telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang
dan/atau uang milik perusahaan;
2. Memberikan
keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
3. Mabuk, meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja;
4. Melakukan
perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
5. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi
teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
6. Menbujuk teman
sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
7. Dengan ceroboh
atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
perusahaan yang menimbukan kerugian bagi perusahaan;
8. Dengan ceroboh
atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di
tempat kerja;
9. Membongkar atau
membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk
kepentingan negara; atau
10. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan
yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 158 ayat 1
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Kesalahan berat dimaksud harus didukung dengan bukti
sebagai berikut:
a)
Pekerja/buruh
tertangkap tangan;
b)
Ada pengakuan dari
pekerja/buruh yang bersangkutan;
c)
Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat
oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi
b.
Pemutusan hubungan
kerja oleh buruh/pekerja
Pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut:
1.
Menganiaya, menghina
secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
2.
Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3.
Tidak membayar upah tepat pada waktu yang
telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
4.
Tidak melakukan kewajiban yang telah
dijanjikan kepada pekerja/buruh;
5.
Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksakan
pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja (Pasal 169 ayat 1)
Pekerja /buruh dapat
mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan pengunduran diri atas kemauan
sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud
di atas harus memenuhi syarat:
1.
Mengajukan permohonan
pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2.
Tidak terikat dalam ikatan dinas;
3. Tetap
melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
c.
Hubungan kerja putus
demi hukum
Selain pemutusan kerja oleh pengusaha, buruh/pekerja,
hubungan kerja juga dapat putus/berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja
tersebut harus putus dengan sendirinya dan kepada buruh/pekerja, pengusaha
tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga yang berwenang sebagaimana
diatur dalam Pasal 154 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut:
1.
Pekerja/buruh masih
dalam masa percobaan kerja, bila mana telah dipersyaratkan secara tertulis
sebelumnya;
2.
Pekerja/buruh mengajukan permintaan
pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi
adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai
dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
3.
Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai
dengan ketetapan dalam peerjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian
kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
4.
Pekerja/buruh
meninggal dunia.
d.
Pemutusan hubungan
kerja oleh pengadilan
Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh
pengadilan ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas
permintaan yang bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Alasan
yang penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan
pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan keadaan di mana pekerjaan yang
dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan
hubungan kerja. (Husni, 2010)
D. Prosedur Pemberhentian Hubungan Kerja
Permberhentian Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan
harus dilakukan dengan baik dan sesuai dengan regulasi pemerintah yang masih
diberlakukan. Namun karena terkadang pemberhentian terkadang terjadi akibat
konflik yang tak terselesaikan maka menurut Umar (2004) pemecatan secara
terpaksa harus sesuai dengan prosedur sebagai berikut:
1. Musyawarah karyawan dengan pimpinan perusahaan.
2. Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan
perusahaan.
3. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan
dan wakil dari P4D.
4. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan
dan wakil dari P4P.
5. Pemutusan hubungan berdasarkan Keputusan Pengadilan
Negeri.
Kemudian menurut Mutiara S. Panggabean Proses
Pemberhentian hubungan kerja jika sudah tidak dapat dihindari maka cara yang
diatur telah diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 1964. Perusahaan yang ingin
memutuskan hubungan kerja harus mendapatkan izin dari P4D (Panitia Penyelesaian
Perburuhan Daerah) dan jika ingin memutuskan hubungan kerja dengan lebih dari
sembilan karyawan maka harus dapat izin dari P4P (Panitia Penyelesaian
Perburuhan Pusat) selama izin belum didapatkan maka perusahaan tidak dapat
memutuskan hubungan kerja dengan karyawan dan harus menjalankan kewajibannya.
Namun sebelum pemberhentian hubungan kerja harus
berusaha untuk meningkatkan efisiensi dengan:
·
Mengurangi shift
kerja
·
Menghapuskan kerja
lembur
·
Mengurangi jam kerja
·
Mempercepat pension
·
Meliburkan atau
merumahkan karyawan secara bergilir untuk sementara
E. Mengapa PHK Dilakukan
Alasan PHK, dari mulai pekerja mengundurkan diri ,
kesepakatan berrsama. Selain itu:
1.
Selesainya PKWT
(Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)
2.
Pekerja melakukan
kesalahan berat
3.
Pekerja melanggar
perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturanperusahaan
4.
Pekerja mengajukan
PHK karena pelanggaran pengusahan (keinginan Karyawan)
5.
Pekerja menerima PHK
meski bukan karena kesalahannya
6.
PHK Massal – karena
perusahaan rugi, force majeure, atau melakukan efisiensi.
7.
Peleburan,
penggabungan, perubahan status
8.
Perusahaan pailit
9.
Pekerja meninggal
dunia
10.
Pekerja mangkir 5
hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut
11.
Pekerja sakit
berkepanjangan
12.
Pekerja memasuki usia
pensiun
F. Hak – Hak Karyawan Setelah PHK
Bila seorang pekerja
di PHK ada 4 komponen yang dipakai sebagai kompensasi PHK yaitu :
1. Uang Pesangon, yaitu pemberian berupa uang dari
pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja.
2. Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), adalah pemberian
uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai penghargaanberdasarkan masa kerja
akibat adanya PHK.
3. Uang Ganti Kerugian, adalah pemberian berupa uang dari
pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai ganti istirahat tahunan, istirahat
panjang, biaya perjalanan pulang tempat di mana pekerja diterima bekerja,
fasilitas pengobatan, dan fasilitas perumahan.
4. Uang Pisah, adalah pemberian berupa uang dari
pengusaha kepada pekerja/buruh atas pengunduran diri secara baik-baik dan
mengikuti prosedur sesuai ketentuan yaitu ditujukan secara tertulis 30 hari
sebelum tanggal pengunduran diri yang besar nilainya berdasarkan kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja.(Adisu, 2008)
uang penggantian hak
yang seharusnya diterima oleh buruh/pekerja meliputi:
1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan
keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
ditetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan
masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 154 ayat 4).
Komponen upah yang
digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja,
dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas:
1. Upah pokok;
2. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang
diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari
catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu
harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian
dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
Karyawan yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena perusahaan mengalami kepailitan Mempunyai
hak-hak yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan. Hal ini berdasarkan Pasal
165 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan karena
perusahaan pailit dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Referensi
: